Saturday, March 17, 2007

Sistem Marga Di Sumatera Selatan

REVITALISASI SISTEM MARGA WUJUD DEMOKRASI LOKAL
Oleh : Harry Truman*
Awal tahun ini Asosiasi Advokat Konstitusi meminta Makamah Kontitusi Indonesia untuk melakukan uji materiil terhadap Surat Keputuasn (SK) Gubernur Sumatera Selatan No.142/KPTS/III/1983 tentang penghapusan sistem Marga di Sumatera Selatan. Asosiasi Advokat Konstitusi mengangap bahwa SK Gubernur Sumatera Selatan tersebut bertentangan dengan pasal 18 B ayat 2 UUD 1945. Dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 tersebut disebutkan, "dalam teritorial Negara Indonesia terdapat ± 250 Zelfbesturreende Landschappen dan Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat di anggap sebagai daerah yang bersifat istimewa"
Hadirnya SK Gubernur tersebut sangat dipengaruhi oleh UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam UU 5/1979 ini secara tegas mengarah pada hegemonisasi bentuk dan susunan pemerintahan Marga dengan corak nasional (Jawa) yaitu desa. Sehingga terjadi konversi Marga ke dalam struktur desa yang merupakan model pengorganisasian masyarakat menurut sistem Jawa.
Dalam SK yang diterbitkan pada tanggal 24 Maret 1983 tersebut menyatakan, pertama pembubaran sistem Marga di Sumatera Selatan. Kedua, Pasirah (pemimpin Marga) dan semua instrumen Marga dipecat dengan hormat. Ketiga, dusun, didalam sebuah Marga, diganti dengan desa sesuai dengan definisi yang ada pada UU No.5/1979. Keempat, Kerio sebagai kepala dusun, akan menjadi kepala desa yang akan ditunjuk melalui pemilihan kepala desa sesuai dengan UU No.5/1979.
Apa yang dilakukan oleh Asosiasi Advokasi Kontitusi diatas mungkin merupakan sebuah langkah awal dari sisi hukum formal untuk merevitalisasi sistem Marga di Sumatera Selatan. Sebelumnya, berbagai desakan juga muncul misalnya dari Dewan Pembinan Adat Sumatera Selatan kepada Gubernur Sumatera Selatan yang saat itu dijabat oleh Rosihan Arsyad untuk segera mencabut SK tersebut. Dewan Pembina Adat menilai bahwa sistem pemerintahan Marga secara historis telah membuktikan terjaminnya kesejahteraan rakyat dibanding dengan sistem lain yang pernah atau yang sedang berlaku dewasa ini. Namun ada juga beberapa kalangan yang menilai kembali ke sistem pemerintahan Marga merupakan pemikiran yang dipengaruhi oleh sisa-sisa feodal yang hidup di era kolonialisme dan tidak sesuai lagi dengan era reformasi sekarang ini.
Perbedaan pandangan seperti itu memang tidak terlepas dari dua pandangan yang berbeda yaitu romatis dan kritis. Pandangan romantis selalu melihat masa lalu pemerintahan Marga yang indah, sekaligus melakukan pembelaan terhadap sistem pemerintahan Marga tersebut. Namun padangan kristis menilai bahwa pemerintahan Marga itu berbau feodal serta tidak demokratis sehingga sangat tidak relevan lagi diterapkan di zaman sekarang ini.
Dikotomi memahami pemerintahan Marga ini memang wajar saja karena pandangan individu berbeda satu dengan yang lainnya. Namun perlu dipahami bahwa Marga sudah lama menjadi bagian dari identitas dan basis kehidupan masyarakat lokal di Sumatera Selatan. Sebagai entitas self-governing community, Marga mempunyai seperangkat hukum adat untuk mengelola hubungan sosial; seperti adat hak waris, pernikahan, gotong-royong, penyelesaian konflik antar warga adat, nilai-nilai penghargaan etnis pendatang, tata cara menjaga wilayah tanah (kedaulatan) masyarakat adat, membagi sumberdaya ekonomi secara komunal dan adil serta mengatur sistem pemerintahan lokal secara otonom.
Nilai-nilai yang terkandung didalam masyarakat inilah yang merupakan modal sosial masyarakat Marga untuk menjaga keharmonisan hubungan antara masyarakat dan masyarakat maupun antara masyarakat dan pemerintah Marga. Dalam tulisan saya hendak menduskusaikan bagaimana bagaimana konsep Demokrasi yang berjalan dalam sistem pemerintahan Marga sebagai salah satu bentuk tata pengaturan kehidupan di dalam masyarakatnya.
Demokrasi Dalam Sistem Marga
Sejak diberlakukannya UU No 5/1979 tentang pemerintahan Desa maka terjadi konversi Marga ke dalam struktur desa yang merupakan model pengorganisasian masyarakat menurut sistem di Jawa. Konversi itu kemudian juga berdampak pada hancurnya identitas, kepemimpinan lokal, otonomi adat, serta pola hubungan sosial di tingkat Marga. Marga yang dulu tumbuh dan berkembang dengan kearifan lokal yang unik dan disokong berbagai perangkat kelembagaan dan kekuasaan yang khas, diubah menjadi desa yang monoton. Konversi itu juga telah menyebabkan terjadinya pergeseran gagasan demokrasi dalam pemerintahan Marga. Demokrasi Marga yang dulu dibingkai dengan tiga tata kelola yaitu tata kerama (fatsoen), tata susila (etika) dan tata cara (aturan main) atau rule of law yang dihasilkan dari kontak sosial masyarakat, menjadi demokrasi yang hanya mengandalkan kompetisi politik belaka. Para pemimpin dan masyarakat Marga hanya melihat bahwa demokrasi akan berjalan apabila terjadi kompetisi yang bebas, partisipasi masyarakat, pemilihan secara langsung dengan prinsip one man one vote.
Pandangan tentang demokrasi ini memang sangat dipengaruhi oleh teori demokrasi Schumpetarian dimana konsep yang ditawarkan adalah lebih menekankan pada prosedur atau metode demokrasi. Karena menekankan prosedural maka konsep demokrasi Shumpeter sering disebut juga demokrasi prosedural. Dimana demokrasi hanya dirumuskan sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat (melalui pemilihan), sehingga legitimasi yang dihasilkan dalam gagasan demokrasi ini hanya berdasarkan jumlah.
Padahal, demokrasi yang berkembang dalam masyarakat Marga di Sumatera Selatan sebelum berlaku UU No 5/1979 tentang pemerintahan desa lebih bersifat komunitarian. Artinya bahwa gagasan demokrasi yang berkembang dalam masyarakat Marga tidak menonjolkan kompetisi, kebebasan, patisipasi dan keterbukaan sebagaimana menjadi doktrin demokrasi prosedural. Melainkan menekankan aspek keseimbangan dan harmoni relasi sosial, komualisme, kesetaraan, solidaritas sosial dan kebaikan bersama. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam keputusan di tingkat Marga selalu diputuskan secara kolektif oleh masyarakat Marga. Sehingga memungkinkan partisipasi masyarakat secara luas dan menghindari terjadinya oligarki elite dalam pengambilan keputusan ditingkat Marga.
Teori demokrasi subtantif ini menekankan bagaimana masyarakat merumuskan sebuah kebijakan secara bersama. Ada dua penekanan dalam memahami demokrasi subtantivis ini, pertama, memunculkan konsep participatory democracy, yang mengadaikan keikutsertaan rakyat dalam proses politik tidak harus melalui perwakilan melainkan dilakukan secara langsung dalam sebuah ruang publik. Kedua, penekanan pada upaya dialogis untuk mencapai konsensus melahirkan konsep demokrasi deliberatif (musyawarah-mufakat). Karena itu, demokrasi subtantif ini hendak mempromosikan partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan dan pembangunan di tingkat Marga. Melampaui batasan-batasan formal, demokrasi subtantif merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, melalaui musyawarah mufakat dalam urusan pemerintahan di tingkat Marga.
Revitalisasi Sistem Pemerintahan Marga
Moment untuk revitalisasi sistem pemerintahan Marga sebenarnya telah terbuka lebar bagi masyarakat di Sumatera Selatan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (sekarang menjadi UU No.32 Tahun 2004) telah memberikan inspirasi baru bagi komunitas adat di seluruh tanah air. Beberapa daerah kemudian dengan sangat baik mampu memanfaatkan momentum ini, misalnya dengan memberlakukan kembali sistem pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, Gampong di Aceh dan lain sebagainya.
Namun sistem Marga di Sumatera Selatan sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan diterapkan lagi sebagai sistem pemerintahan terendah di bumi Sriwijaya. Dengan melakukan revitalisasi sistem pemerinatahan Marga maka gagasan demokrasi yang selama ini dianut oleh masyarakat sebagai basis sosial ditingkat Marga akan terwujud. Namun perlu dilihat bahwa dari bentuk pemerintahannya, komunitas asli atau yang kita sebut masyarakat adat (Marga) ini dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, self-governing community, yaitu sebuah kominitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukan segala sesuatunya sendiri.
Kedua, self local government yaitu sebuah komunitas lokal yang sepintas memang mirip dengan tipe diatas, karena mereka juga memiliki lembaga pemerintahan sendiri dan atauran main yang jelas. Namun bila dilihat lebih jauh mereka tidak semerdeka seperti tipe sebelumnya karena masih memiliki keterikatan dengan pemerintahan diatasnya. Atau dengan kata lain mereka merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah diatasnya.
Saya setuju kalau sistem pemerintahan Marga secara utuh sebagai self-governing community memang tidak bisa diterapkan lagi pada tingkat pemerintahan terendah di Sumatera Selatan. Karena dalam sistem Marga, Pasirah (pemimpin Marga) menjalankan fungsi eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kalau itu diterapkan dalam situasi sekarang, jelas tidak mungkin. Situasi sosial masyarakat saat ini juga sangat berbeda dengan kondisi saat Marga masih berlaku. Namun kalau kita memahami bahwa Marga sebagai self local government maka hal itu masih bisa diwujudkan. Karena dengan begitu Marga menjadi komunitas masyarakat yang memiliki pemerintahan sendiri, menyelenggarakan urusan sendiri, dan hal untuk menentukan apa yang terbaik bagi masyarakatnya sendiri, namun tetap berada dalam struktur hiraraki sebuah pemerintahan diatasnya. Dengan begitu Marga menjadi lembaga yang mencerminkan praktek demokrasi lokal secara otentik di level grassroot.
Untuk menerapkan sistem Marga ini, tentu harus juga dibarengi “good will" para elite lokal di Sumatera Selatan. Yang terpenting masyarakat juga harus melihat sistem Marga ini sebagai identitas dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Selatan bukan sesosok “monster" yang menakutkan, yang sewaktu-waktu dapat merenggut kebebasan dan membalikan ide demokrasi ditingkat lokal.
*Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Ilmu Politik, Kosentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta dan Staf Peneliti Pada Kajian Politik dan Pembangunan Kawasan, Center for Humanity and Civilization Studies (CHOICES)

No comments: